Berita Terbaru:
Home » » Chelsea; Kelas Buruh dan Against Modern Football

Chelsea; Kelas Buruh dan Against Modern Football

Written By angkringanwarta.com on Sunday, June 16, 2013 | 09:18

Chelsea yang kita kenal sekarang sangatlah berbeda dengan Chelsea di tahun 70’ dan 80’an. Di kala itu Chelsea lebih dikenal bukan karena prestasi klubnya, namun karena aksi-aksi brutal hooligannya. Chelsea Headhunters adalah salah satu kelompok hooligan yang sering berbuat ulah saat itu. Bukanlah pemandangan yang aneh ketika itu jika di tengah-tengah pertandingan, para hooligan Chelsea tersebut masuk menyerbu lapangan. Alan Garrison, mantan pemimpin hooligan Chelsea, seperti dikutip Franklin Foer dalam bukunya: How Soccer Explains The World (2004), pernah mengatakan bahwa: dari 10.000 fans yang datang ke Stamford Bridge, 6000 diantaranya datang dengan niat berkelahi. Gerah dengan ulah para hooligan, pemilik Chelsea, Ken Bates, di tahun 1983 bahkan pernah mengusulkan agar pagar di stadion Stamford Bridge dialiri oleh listrik 12 volt agar para hooligan tidak keluar dari tribunnya. Untungnya usul edan ini kemudian ditolak mentah-mentah oleh pihak berwenang di London.

Lingkungan di sekitar Chelsea (London Barat) pada awal 70’an sama sekali tidak menunjukan suasana kosmopolitan dan glamor. Tidak seperti sekarang yang dipenuhi perumahan mewah, perkantoran elit atau restoran-restoran mahal. Stamford Bridge yang ketika itu memiliki jalur balap anjing di sekeliling lapangannya, tidak menunjukan kesan stadion yang mewah. Tak ada kursi tempat duduk, yang ada hanya teras beton belaka yang bisa dijejali ribuan manusia. Stadion penuh gairah inilah yang menjadi saksi keberingasan para Chelsea Headhunters setiap menjamu lawan-lawannya.

Fans Chelsea sebelum tahun 90’an, seperti fans-fans lainnya, menjadi korban dari ketidakbecusan sepakbola Inggris. Sebelum era Premier League, tidak banyak uang yang bisa dihasilkan dari industri sepakbola. Sehingga para pemilik klub membiarkan stadion mereka terbengkalai dan berbahaya untuk ditempati. Akibatnya para fans seolah-olah merasa bahwa nyawa mereka diabaikan dan karena begitu mereka pun rela baku hantam, babak belur, berkelahi dengan para fans lainnya.

Peristiwa di Hillborough yang memakan jiwa 96 fans Liverpool yang sedang menyaksikan pertandingan Liverpool vs Nottingham Forest pada tahun 1989, memaksa pemerintah mewajibkan agar para klub membangun ulang stadion-stadion mereka. Mengganti tribun berdiri dengan kursi, menghilangkan pagar pembatas dan membuat stadion menjadi lebih aman untuk ditempati.

Merombak stadion berarti membuat para pemilik klub harus mencari tambahan dana lewat suntikan para sponsor. Harga tiket mau tidak mau harus dinaikan. Dinaikannya harga tiket ini punya tujuan (1) untuk membantu keuangan klub dan (2) untuk membatasi penonton dari kelas buruh yang dicap sebagai biang kerok dari kerusuhan sepakbola.

Chelsea adalah klub yang paling kentara menerima perubahan-perubahan ini. seperti yang disebut di atas, Chelsea di tahun 80’an adalah klub medioker, yang dekil dan dipenuhi para fans berandalan. Sekarang dengan semakin menjamurnya perkantoran-perkantoran mewah di sekitar Fulham Road, Stamford Bridge, Chelsea seketika berubah menjadi klub yang kosmopolit dan glamor. Para pemain top dari luar seperti Ruud Gullit, Gianfranco Zola, George Weah dan lain-lain didatangkan dengan misi menaikan status Chelsea ke papan atas. Alhasil, trofi Piala FA pun berhasil digondol pada 1997. Setahun kemudian Chelsea berhasil menjuarai Piala Winners & Piala Super Eropa di bawah kepelatihan mantan pemainnya yaitu Gianluca Vialli. Chelsea pun semakin menjadi klub yang glamor tatkala di tahun 2003, Roman Abramovich, raja minyak (bukan si Poltak) dari Rusia membeli sebagian besar saham Chelsea. Para suporter baru dari kalangan orang kaya pun mulai datang ke Stamford Bridge.

Perubahan-perubahan ini tentu saja membawa korban, yaitu fans Chelsea dari kelas buruh yang kesulitan untuk menonton pertandingan akibat mahalnya harga tiket. Para fans ini kemudian gerah kepada pemilik klub yang rela merubah Chelsea menjadi glamor hanya demi keuntungan-keuntungan bisnis semata. Wacana “Against Modern Football” pun kemudian didengungkan oleh sebagian besar fans sepakbola di Eropa yang sudah muak dengan komersialisasi berlebihan dalam dunia sepakbola.

Saya pun jadi sempat menggaungkan “Against Modern Football” ketika melihat mahalnya harga tiket tur Chelsea di Indonesia.
Cih, Against Modern Football.


Penulis: Reza Fajri
Twitter: @rezafajri



Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta