Berita Terbaru:
Home » » Isyarat yang Kejengkolan Menuju Bulan Puisi

Isyarat yang Kejengkolan Menuju Bulan Puisi

Written By angkringanwarta.com on Friday, June 14, 2013 | 14:01

Oleh Jibal Windiaz*

Bulan suci ramadhan tinggal sejengkal lagi. Bulan yang puitik bagi masyarakat muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, menjelang bulan puasa kerap kali disambut oleh isyarat kenaikkan sejumlah harga bahan pokok. Sebut saja jengkol, yang beritanya relatif fenomenal belakangan ini selain persoalan BBM dan embel-embelnya. 

Meski nasib jengkol masih berstempel makruh (di luar makanan wajib). Tetapi bukan mustahil nasib jengkol bakal berstatus haram dikemudian hari yang entah, dengan justifikasi yang bakal serupa disematkan pada rokok kretek kita hari ini. Dimana ada mangsa pasar di situlah pemangsa pasar (kaum modal) memainkan politik pasarnya; seperti arloji, mengulang tanda yang sama.

Bangsa lain tidak punya kualitas tembakau seperti yang tumbuh subur di tanah Jawa. Ragam jenis dan olah tanam-tumbuhnya jelas berbeda jauh dengan iklim serta budaya agraris kita. Di belahan dunia lain istilah ‘kejengkolan’ (baca: teler akibat kebanyakan makan jengkol) adalah istilah yang ganjil dan mngkin butuh penjelasan lebih bagi orang di luar Indonesia, seperti halnya masuk angin dan budaya kerokan.Tidak ada di kamus medis Negara maju istilah-istilah tersebut.

Lantaran menu semur jengkol juga, krupuk jengkol yang demikian dangdut sekali rasanya itu adalah menu yang asing bagi budaya meja makan mereka. Bahkan, bagi sebagian orang Indonesia, jengkol dipandang sebagai makanan yang miskin manfaat. Limbahnya acap kali difitnah menganiaya harkat kloset di kamar mandi.

Sejurus dengan bau tak sedap dari dalam kloset. Berhadapan dengan realitas puisi hari ini, berhadapan kembali dengan fenomena sejumlah iklan di televisi dalam merasuki para ‘penunai puasa’. Mulai dari iklan kue, sirup, kecap, ‘berbuka dengan yang manis’. Puitika yang berdaya slogan acap kali mampu merepresi bawah sadar publik dalam memaknai puasa dan lebaran sebagai ritus pasar belaka. Bahkan, keinginan selebriti dalam berhijab yang dirayakan melalui media gosip, serentet program tontonan berdurasi ekstra hiburan pun tak mau kalah saing untuk memprovokasi hasrat konsumsi.

Membaca kembali puisi pendek Sitor Situmorang pada Malam Lebara:n Bulan di atas Kuburan. Dari situlah dapat kita cembung-cekungkan kaca baca kita, dimana (penyair) sebagai produsen sekaligus konsumen teks ada kalanya hadir sebagai peziarah atas teks-teks yang disediakan oleh alam bacanya. Jika begitu, ‘Menulis di atas Realita’ seperti yang pernah dicetuskan SCB adalah semacam semacam upaya mendekonstruksi kembali media gagas nilai (baca: puisi) untuk lepas dari sekadar memindahkan teks belaka. Jika begitu, sudah seharunya puisi bukanlah sebuah proyek bongkar-muat, bukan sebuah upaya sekadar mengisyaratkan ‘kejengkolan’ atau hasrat konsumtif dari kepamrihan pasar belaka. 

Menciptalah. Lepas dari segala kejengkolan, lepas dari segala kurikulum keadaan, dan kepadananyang terlanjur cemar oleh kepentingan rezim kebudayaan hari ini. Tanpa harus terjebak ditindas jarak dan keterasingan yang bersunyi bunyi.   

*Penulis adalah koordinator Komunitas Kretek Jakarta


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta