@AyodiaKelana
Siapa tak kenal dengan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo
atau biasa akrab disapa Jokowi. Populeritas mantan Walikota Solo ini cukup
membuat politisi merasa panik, setidaknya itu yang dikatakan wartawan senior
Kompas, Budiarto shambazy.
Dalam kesempatan, Jokowi berorasi dalam acara kelahiran ke-9
Wahid Institute, Kamis (26/9) siang, ia mengatakan pemukiman kumuh. Ia
mempertegas ketimpangan antara yang kaya dengan miskin nampak terlihat jelas.
Perbandingan antara kawasan Kuningan dengan pemukiman kumuh di Pademangan,
Sunter, dan kawasan lainnya.
Jokowi menambahkan rencanya untuk membenahi pemukiman kumuh
dan rencana pembangunan sejumlah ruang terbuka hijau, taman dijadikan sebagai
ruang publik, seperti waduk pluit dan juga Ria Rio.
Dengan adanya raung terbuka hijau, Jokowi berharap dapat mengatasi
banjir, menumbuhkan kepedulian sosial pada warganya, dan juga sebagai sarana
untuk interaksi. Bahkan menurut Jokowi, kreativitas siswa akan muncul saat
berada di lokasi yang mendukung.
Hal ini juga dibenarkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama. Pria yang biasa disapa Ahok ini mengatakan, Jakarta masih kekurangan sarana
ruang kreativitas sebagai wadah penyaluran emosi warga, terutama anak-anak.
Kurangnya ruang publik untuk anak itu dapat mengakibatkan maraknya tawuran
antarpelajar.
“Seharusnya, ruang kreativitas dapat disampaikan melalui
pembangunan ruang terbuka hijau (RTH). Di dalamnya, bisa kita buat sarana untuk
penyampaian emosi pelajar,” ujar Basuki di Balaikota Jakarta, Kamis (12/9/2013)
(lihat http://ahok.org/)
Menurutnya, semakin banyaknya RTH, maka akan semakin banyak
ruang terbuka bagi pelajar untuk berinteraksi dengan masyarakat. RTH itu akan
digunakan sebagai kegiatan positif bersama pelajar lainnya.
Bisa jadi hal itu benar, tapi apakah kedua pemimpin Jakarta ini telah melupakan ancaman yang dapat menggoyahkan kepemimpinan mereka dengan adanya taman tersebut, apa lagi dari segi bisnis taman sama sekali tak menguntungkan.
Warung
Kopi (Ruang Publik)
Mengapa warung kopi?
Warung kopi merupakan sebuah tempat terdekat bagi masyarakat untuk
saling bercakap-cakap. Kebiasaan nongkrong sambil menikmati kopi ternyata tak
hanya dilakukan penduduk Indonesia, , hal seperti ini juga dilakukan warga di
Inggris.
Kebiasaan warga Inggris nongkrong di warung kopi
unguk ngobrol remeh-temeh sampai ke perdebatan ekonomi dan politik telah
di lakukan sejak abad ke-18. Begitu juga dengan Perancis, tapi mereka lebih memilih
tempat yang agak elit, yakni salon dan mendiskusikan buku-buku, karya-karya
seni baik berupa lukisan atau musik, di sana.
Kegiatan bercakap di warung kopi ini disebut filosof
bernama Jurgen Habermas sebagai ruang publik atau public sphere.
Ia mengenalkan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der
Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen
Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of
the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan
pada 1989.
Ruang publik tak hanya terbatas pada yang berbentuk fisik,
seperti lapangan, warung kopi , namun terus merambah pada media massa. Untuk saat ini, dalam bentuk Cyberspace
(Facebook, Twitter, dan lain-lain).
Peran ruang publik dapat membuat sejumlah politisi
kalang kabut. Lihat saja, bagaimana desakan masyarakat dalam kasus Prita
Mulyasari melawan Omni Hospital, polemik Kartu Sehat Jakarta (KJS) berujung
pemakjulan. Sebab itu, maka tak mengherankan jika warung kopi turut
andil dalam menciptakan sebuah kreatifitas dan lahirnya sebuah gerakan.
Hal ini pun jauh-jauh hari telah disadari benar
Soeharto, ia menilai ruang publik sebagai ancamnya. Sebab bisa saja disana
masyarakat akan berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu ‘subversif’ seperti
rencana menggulingkan pemerintahan, selain tentunya tidak bermanfaat dari segi
bisnis.
Maka tak mengheran jika ruang publik berupa taman
dan lapangan kontraktor dijadikan lapangan golf dan juga pusat perbelanjaan
(mal) untuk para elit. Sedangkan untuk media massa sendiri, Soeharto meminta menteri penerangan untuk melakukan
pengontrolan secara ketat.
Agar semuanya berjalan, ia memulai itu semuanya, pada tahun 1965 Soeharto
melakukan pembantai terhadap golongan kiri, kaum intelektual, masyarakat
minoritas Cina. Usai melakukan pembersihan, Soeharto menciptakan doktrin baik
dalam bentuk cerita maupun film tentang kekejaman komunis lalu menutup ruang
sepenuhnya terhadap mereka yang dianggap komunis.
Bersambung