Berita Terbaru:
Home » , » Warung Kopi, Soeharto Ahli Pemikirn Habermas

Warung Kopi, Soeharto Ahli Pemikirn Habermas

Written By angkringanwarta.com on Monday, September 30, 2013 | 04:18

@AyodiaKelana

Siapa tak kenal dengan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau biasa akrab disapa Jokowi. Populeritas mantan Walikota Solo ini cukup membuat politisi merasa panik, setidaknya itu yang dikatakan wartawan senior Kompas, Budiarto shambazy.


Dalam kesempatan, Jokowi berorasi dalam acara kelahiran ke-9 Wahid Institute, Kamis (26/9) siang, ia mengatakan pemukiman kumuh. Ia mempertegas ketimpangan antara yang kaya dengan miskin nampak terlihat jelas. Perbandingan antara kawasan Kuningan dengan pemukiman kumuh di Pademangan, Sunter, dan kawasan lainnya.

Jokowi menambahkan rencanya untuk membenahi pemukiman kumuh dan rencana pembangunan sejumlah ruang terbuka hijau, taman dijadikan sebagai ruang publik, seperti waduk pluit dan juga Ria Rio.

Dengan adanya raung terbuka hijau, Jokowi berharap dapat mengatasi banjir, menumbuhkan kepedulian sosial pada warganya, dan juga sebagai sarana untuk interaksi. Bahkan menurut Jokowi, kreativitas siswa akan muncul saat berada di lokasi yang mendukung.

Hal ini juga dibenarkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pria yang biasa disapa Ahok ini  mengatakan, Jakarta masih kekurangan sarana ruang kreativitas sebagai wadah penyaluran emosi warga, terutama anak-anak. Kurangnya ruang publik untuk anak itu dapat mengakibatkan maraknya tawuran antarpelajar.

“Seharusnya, ruang kreativitas dapat disampaikan melalui pembangunan ruang terbuka hijau (RTH). Di dalamnya, bisa kita buat sarana untuk penyampaian emosi pelajar,” ujar Basuki di Balaikota Jakarta, Kamis (12/9/2013) (lihat http://ahok.org/)

Menurutnya, semakin banyaknya RTH, maka akan semakin banyak ruang terbuka bagi pelajar untuk berinteraksi dengan masyarakat. RTH itu akan digunakan sebagai kegiatan positif bersama pelajar lainnya.

Bisa jadi hal itu benar, tapi apakah kedua pemimpin Jakarta ini telah melupakan ancaman yang dapat menggoyahkan kepemimpinan mereka dengan adanya taman tersebut, apa lagi dari segi bisnis taman sama sekali tak menguntungkan. 

Warung Kopi (Ruang Publik)

Mengapa warung kopi?  Warung kopi merupakan sebuah tempat terdekat bagi masyarakat untuk saling bercakap-cakap. Kebiasaan nongkrong sambil menikmati kopi ternyata tak hanya dilakukan penduduk Indonesia, , hal seperti ini juga dilakukan warga di Inggris.

Kebiasaan warga Inggris nongkrong di warung kopi unguk ngobrol remeh-temeh sampai ke perdebatan ekonomi dan politik telah di lakukan sejak abad ke-18. Begitu juga dengan Perancis, tapi mereka lebih memilih tempat yang agak elit, yakni salon dan mendiskusikan buku-buku, karya-karya seni baik berupa lukisan atau musik, di sana.   

Kegiatan bercakap di warung kopi ini disebut filosof bernama Jurgen Habermas sebagai ruang publik atau public sphere. Ia mengenalkan ruang publik melalui bukunya Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.

Ruang publik tak hanya terbatas pada yang berbentuk fisik, seperti lapangan, warung kopi , namun terus merambah pada media massa.  Untuk saat ini, dalam bentuk Cyberspace (Facebook, Twitter, dan lain-lain).

Peran ruang publik dapat membuat sejumlah politisi kalang kabut. Lihat saja, bagaimana desakan masyarakat dalam kasus Prita Mulyasari melawan Omni Hospital, polemik Kartu Sehat Jakarta (KJS) berujung pemakjulan. Sebab itu, maka tak mengherankan jika warung kopi turut andil dalam menciptakan sebuah kreatifitas dan lahirnya sebuah gerakan.  

Hal ini pun jauh-jauh hari telah disadari benar Soeharto, ia menilai ruang publik sebagai ancamnya. Sebab bisa saja disana masyarakat akan berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu ‘subversif’ seperti rencana menggulingkan pemerintahan, selain tentunya tidak bermanfaat dari segi bisnis.

Maka tak mengheran jika ruang publik berupa taman dan lapangan kontraktor dijadikan lapangan golf dan juga pusat perbelanjaan (mal) untuk para elit. Sedangkan untuk media massa sendiri, Soeharto meminta menteri penerangan untuk melakukan pengontrolan secara ketat. 

Agar semuanya berjalan, ia memulai itu semuanya, pada tahun 1965 Soeharto melakukan pembantai terhadap golongan kiri, kaum intelektual, masyarakat minoritas Cina. Usai melakukan pembersihan, Soeharto menciptakan doktrin baik dalam bentuk cerita maupun film tentang kekejaman komunis lalu menutup ruang sepenuhnya terhadap mereka yang dianggap komunis.


 Bersambung 


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta