Berita Terbaru:
Home » , » Penyakit itu Bernama Ekstrimisme

Penyakit itu Bernama Ekstrimisme

Written By angkringanwarta.com on Sunday, November 17, 2013 | 15:37

Oleh Muhammad Zidni Ilmi*

Indonesia sebagai Negara kepulauan (Nusantara) merupakan faktor utama pembentuk keberagaman budaya, suku, ras hingga agama. Negeri yang tersusun indah dari lebih 13 ribuan pulau ini akan begitu naïf bila coba dipisahkan dengan berbagai ragam yang ada didalamnya. Kemajemukan rakyat Indonesia yang memiliki latar belakang berbeda dalam segala aspek kehidupan ini seharusnya dapat mengajarkan kita tentang arti toleransi. Ya, toleransi sebagai bentuk kesadaran pribadi untuk menerima segala perbedaan yang ditemui. Namun sayang, seperti tubuh yang selalu rentan terhadap penyakit Indonesia tetap saja terserang dengan berbagai “penyakit”.

Salah satu contohnya ekstrimisme, sebuah paham yang lahir dari kecenderungan pola pikir yang tidak sesuai dengan realita kehidupan, bahkan berlebihan. Ekstrimisme terus berupaya mengubah segala sesuatu yang tidak sejalan dengan mereka, tentunya hal ini merupakan langkah yang mereka anggap kongkrit demi merealisasikan tujuan yang dikehendaki.

Pergolakan ekstrimisme yang terjadi di Indonesia kian memanas, tidak hanya dalam pusaran ekonomi, tetapi sudah menyentuh ranah sosial, budaya, agama dan masih banyak lagi. Penyakit intoleran ini sudah menjadi momok yang meradang di masyarakat Indonesia. Seolah tak punya obat, Indonesia kini harus tertatih menjalani “masa sakit” nya.

Berdasarkan tingkat sensitivitasnya, ekstrimisme agama hadir menduduki peringkat teratas. Fanatisme pemeluk setiap agama bak bara api yang kian menyulut berbagai tindak kekerasan tak bertanggungjawab. Minimnya pemahaman terhadap agama menyebabkan para “pembela” agama ini melakukan tindakan-tindakan yang bahkan sejatinya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Berdalih membela agama, para ekstrimis ini terus gencar berkoar menumpas segala sesuatu yang berseberangan pemikiran dengan mereka.

Dilihat dari kacamata Islam, fenomena ini sudah jauh hari diberitahukan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya menyifati golongan seperti ini (baca:ekstrimisme) . Beliau bersabda “Mereka terlepas dari agama seperti anak panah terlepas dari busurnya.” Ekstrimisme sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Islam sebagai rahmatan lil alamin sudah barang tentu tak mengajarkan pemeluknya melakukan tindakan-tindakan yang melampai batas. Bahkan, ekstrimisme kini semakin mengarah ke berbagai tindakan diskriminatif. Apakah itu sebuah refleksi menghadapi realita kehidupan yang diajarkan Islam? Mungkin mereka akan menjawabnya dengan anggukan.

Tak dapat dipungkiri memang, Muslim yang berperan sebagai mayoritas di negeri ini sangat mungkin menjadi sasaran empuk kaum ekstrimis mengeruk massa demi mencapai tujuannya. Pun kita tak dapat berbuat lebih. Mereka memang menamakan dirinya sebagai muslim. Entahlah, Islam mana yang mereka pelajari. Islam yang seharusnya menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta ini semakin berubah menjadi sosok yang menakutkan. Gelar teroris, anarkis dan berbagai gelar lainnya terus disematkan kepada muslim atas “jasa” mereka yang “katanya” membela Islam. Entahlah.

Bukan malah membaik, fenomena ekstrimisme di Indonesia tak kunjung menemui titik terang. Ekstrimisme yang kini semakin marak dilembagakan bak mendapat angin segar. Legalitas yang mereka miliki menjadi senjata andalan untuk menggapai cita-citanya. Hingga kini, mereka terus saja menganggap diri mereka sebagai sosok yang lahir dalam kebenaran. Mereka tak memiliki ruang untuk menerima pendapat selainnya. Ketimpangan pemikiran inilah yang terus dilestarikan oleh para pecinta ekstrimisme. Toleransi dan kedamaian yang dimimpikan pun semakin jauh untuk dapat disebut “nyata”.

Tepatnya 26 Juli 2012 lalu,  tragedi yang menimpa warga syi’ah di Sampang menjadi potret buram wajah ekstrimisme di Indonesia. Perilaku sebagian kelompok yang berkedok atas nama agama ini telah berhasil mencederai toleransi antar agama. Sepenggal kisah diatas memaksa kita menelan kenyataan atas rapuhnya Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar utama bangsa. Berbeda-beda namun tetap satu. Perbedaan sebagai sunnatullah sepertinya belum mampu dihadirkan sebagai realita kehidupan. Bagi kelompok ekstrimis, perbedaan muncul sebagai sebuah bentuk penyimpangan terhadap doktrin kebenaran. Maka, bagi siapapun yang berbeda dengan mereka maka harus siap untuk penyematan label “sesat” sekaligus kehilangan hak untuk hidup damai. Ironis sekali, tapi inilah yang terjadi di bumi pertiwi. Toleransi hampir mati!

Menelisik lebih dalam terhadap gelombang ekstrimisme yang terjadi di Indonesia, tragedi di Sampang bukanlah satu-satunya produk ekstrimis. Beberapa kasus lainnya bahkan belum terselesaikan seperti kasus GKI Yasmi di Bogor, HKBP Filadelfia di Bekasi, dan berbagai hal naïf lainnya yang seringkali berujung pada tindak kekerasan. Bahkan jika kita kembali ke sejarah, kita akan menemukan kemiripan yang cukup intim dalam kasus ini. Mereka hanyalah kepanjangan tangan dari komunitas-komunitas sebelumnya. Walaupun hadir dengan nama yang berbeda-beda di setiap masa mereka tetaplah tumbuh dari satu akar, penyimpangan pemikiran.

Di lain pihak, sudah seharusnya Indonesia menemukan “obat” yang dapat membawanya pergi dari keterpurukan ini. Berbagai elemen rakyat maupun pemerintah diharapkan mampu memainkan peran demi kokohnya persatuan dan perdamaian yang sama-sama kita mimpikan.  Sinergi dan kerjasama antarpemerintah, pemimpin agama, tokoh masyarakat serta masyarakat luas pastilah mampu menjadi poros utama dalam membendung gerakan-gerakan intoleran (baca:ekstrimisme) di berbagai belahan bumi pertiwi.

Tak hanya sebatas demikian, peran serta setiap individu dalam menumbuhkan kesadaran berfikir sangatlah diperlukan. Kesadaran bahwa setiap makhluk memiliki hak yang sama, bahkan untuk sekedar ‘berdamai’ dengan atmosfer sekitarnya. Kesadaran bahwa segala kebebasan yang kita miliki dibatasi oleh hak orang lain. Dan kesadaran bahwa kita diciptakan untuk saling mencintai bukan memusuhi.

Coba kita bayangkan Indonesia hidup dengan satu jenis bahasa, agama dan budaya. Bagaimanakah?
Atau mungkin terbayang untuk memisahkan setiap suku maupun ras yang berbeda antara satu dengan yang lainnya? Indonesia Negara yang luar biasa. Nusantara yang dikenal dengan ragam budayanya ini sudah harus menunjukan taringnya kepada dunia. Bukan lagi tersandung dan tertatih oleh sang penyakit ekstrimisme ini.

Sudah saatnya Indonesia bangkit dari segala kecacatan ini. Bukan hal mudah memang menghilangkan penyakit yang sudah menjelma sebagai ideologi yang cukup berakar kuat. Sebagai generasi muda bangsa kita tak boleh membiarkan hal semacam ini bertengger semakin lama di tubuh bumi pertiwi. Perdamaian harga mati. Mari bersama bahu-membahu membina kerukunan yang kita idamkan. Sejenak kita coba menanggalkan pakaian keegoisan yang selama ini –mungkin- tak ingin kita lepaskan. Buktikan bahwa ekstrimisme hanyalah sebuah produk lama para petualang yang tersesat. Tunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tak cukup subur menumbuhkan benih-benih penyakit pencedera. Marilah, sudah saatnya kita saling mencinta.

*Penulis sempat mengenyam pendidikan di Pesantren La-Tansa dan pernah tinggal di Cairo

foto 1 diambil http://sekelumitinfo.wordpress.com/2012/10/30/aneka-photo-tawuran-bentrok-konflik-suku-bali-vs-lampung-di-lampung-selatan/ 
Foto 2 diambil  http://indonesia.ucanews.com/2013/10/02/kekerasan-atas-nama-agama-harus-dihentikan/






Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta