Berita Terbaru:
Home » , » Sejarawan Bukan Pandora

Sejarawan Bukan Pandora

Written By angkringanwarta.com on Sunday, January 26, 2014 | 20:56

ilustasi
Oleh @Si_Awe 

Saban bertemunya, ia tak akan ragu bertanya perihal buku yang tak kunjung ketemu jejaknya. Terkadang agak menghardik, ia pun tanpa sungkan menyebut buku teresebut masih dipegang saya. Jika sudah demikian, maka debat soal pinjam-meminjam buku tanpa ujung pangkal.

Memang mau tak mau harus diakui, buku  yang mengulas  dekonstruksi sejarah sempat berada digenggaman saya.  Sayangnya, buku tersebut belum benar-benar selesai dilahap dan hanya menyisakan penggalan kata-kata  yang melekat pada pengantar, yakni ketakutan para sejarawan saat mendengar ‘de’.

Kenapa mereka (sejarawan) melihat ‘de’  tak ubahnya menyaksikan hantu? Bukankah hal ini memicu anggapan miring terhadapnya. Sederhananya, takut kedapatan belangnya bahwa apa yang selama ini disodorkan kepada publik tak lain hanya kebohongan semata.  Jika sudah demikian, kotak yang terbungkus dengan rapi tak akan pernah terbongkar. Lalu membiarkan film Gajah Mada diperankan seorang bocah.

Siapa bilang sejarawan adalah Pandora?

Bisa jadi Pandora tengah murung sambil menyesali perbuatanya yang tak mengindahkan larangan  agar tidak membuka kotak pemberian para dewa. Kekuasan dewa tinggalah kuasa, rasa penasaran akan misteri kotak tersebut di atas segalanya.

Dengan segenap rasa dahaga, Padora membuka kotak hadiah pernikahannya dengan Epimetheus. Kenyataan pahit, ia mencium aroma begitu menakutkan terasa di udara. Sesuatu yang sangat mengerikan telah terlepas.

Pandora lenyap seiring kematian raja para dewa, zeus ditangan anaknya bermana Herkules gara-gara ingin menyelamatkan kandungan Xena. Sejak itu, kehidupan manusia tanpa dewa. (Simak kembali film Herkules di stasiun tv swasta). 

Zeus boleh mati, tapi bukan untuk pengikutnya. Mungkin itu pula yang tak dipahami benar-benar Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meskipun telah menjadi presiden. Entah benar-benar lupa atau nekat untuk membuka dengan mengusul pencabutan TAP MPRS XXV Tahun 1966, di sana masih mitos kuasa Orde Baru yang penuh setia menjaga kotak. 


Maka tak usah diherankan, jika permintaan maaf Gus Dur atas pembantaian orang-orang yang dianggap komunis.  Waktu begulir dengan kehendak lain, singkat cerita Gus Dur berpulang sebelum berhasil  benar-benar membuka kotak.

Adalah Joshua Oppenheimer mencoba melawan kuasa dengan menyutradarai film "The Act of Killing", berkisah  pengakuan algojo mengenai pembantaian jelang lahirnya Orba. Apa yang terjadi, Juru bicara kepresidenan Indonesia, Teuku Faizasyah mengatakan, film itu berpotensi citra Indonesia buruk  mata komunitas internasional.

Sebagamana dilansir di Kompas.com, ia meminta agar persepsi satu orang seharusnya tidak terpengaruh hanya oleh satu film. Soalnya, film tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. “Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara yang kejam dan tak berhukum. Film itu menggambarkan pada 1960-an Indonesia sangat terbelakang. Itu tidak sesuai kenyataan," ujarya.

Silakan disimak pernyataan tersebut, bukannya apa yang dilontarkan atas film tersebut malah kian memperjelas posisinya  terhadap kotak tersebut. Sepertinya, ia akan lebih suka berdiri di atas menara agar menyakskan  kotak teresut terombang-ambing di tengah lautan lepas, penuh harap hilang begitu saja.


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta