Rizqi Jong Java*
Tahun 2011 hingga mengawali tahun 2012 menjadi tahun yang kelam bagi PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia). Hal itu terbukti memang, berawal dari kepemimpinan Nurdin Halid hingga sekarang di bawah kepemimpinan Djohar Arifin, induk sepak bola negeri ini menggunakan ego golongan untuk memutar sepak bola di tanah air. Ketika kepemimpinannya Nurdin Halid, Liga Super Indonesia (LSI) adalah liga yang resmi dan legal yang menjadi kasta tertinggi PSSI sedangkan Liga Primer Indonesia (LPI) yang menjadi liga tandingan merupakan liga yang tidak resmi dengan alasan tidak satu garis kordinasi dengan PSSI.
Berbalik dengan keadaan sekarang, ketika PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin yang menurut beberapa media tidak lain adalah antek-antek Arifin Panigoro (penggagas LPI). Ia malah melegalkan LPI menjadi liga dengan kasta tertinggi PSSI dan mengubah status LSI menjadi liga illegal. PSSI pun terus mengalami kemelut berkepanjangan sampai detik ini. Klub-klub yang menjadi peserta liga mulai terpecah.
Persija Jakarta misalnya, terpaksa mengikuti dua liga yang berbeda dengan nama yang sama namun berada dikepengurusan berbeda. Begitu juga dengan Persib Bandung, Arema Indonesia, dan beberapa klub lainnya. Satu klub menjadi dua klub yang berlaga di dua liga yang berbeda. Mereka memiliki keyakinan penuh bahwa masing-masing liga yang diikuti merupakan kompetisi yang legal dan layak untuk dilaksanakan.
Kisruh di PSSI terus merembet ke perpecahan di kubu klub anggota liga. Klub-klub berada di bawah naungan LSI dipaksa untuk ikut ke LPI, sedangkan klub LSI menolak mentah-mentah. Mereka masih menganggap LSI sebagai liga kasta tertinggi yang legal di Indonesia dan diakui FIFA (Federasi Sepak Bola Dunia) walaupun PSSI sendiri berpandangan sebaliknya. Akar dari permasalahan yang sebenarnya adalah ego dari masing-masing pemimpin yang seakan-akan menjadi titah yang diamini oleh batang tubuh PSSI.
Andai kata mereka tak mementingkan ego masing-masing dan kedua belah pihak mau melebur dan menjadi satu, kemelut di PSSI tak akan terjadi sampai hari ini. sampai detik ini PSSI masih menggunakan kekuasaan dan legalitas dari FIFA. Masalah legalitas ini sebenarnya hanya akal-akalan PSSI saja. Mereka memaksakan kehendak dengan mengandalkan statuta FIFA. Hal ini justru memperkeruh keadaan. PSSI tidak pernah secara jelas menerapkan apa yang ada dalam statuta itu. PSSI juga terkadang menginterpretasi sendiri aturan FIFA yang sewaktu-waktu dibelokkan demi memperlancar ego mereka.
Ego para pengurus PSSI ini sudah jelas terlihat dari kelakuan-kelakuan yang mereka buat. Hendaknya PSSI dan PT. Liga Indonesia yang membawahi LSI yang sebenarnya bagian dari PSSI juga dulunya, segera melakukan pembicaraan untuk memecahkan kemelut yang terjadi. Pihak-pihak yang berkonflik ini harus benar-benar memikirkan kepentingan sepak bola Indonesia, seperti yang mereka teriakkan selama ini. Apakah mereka benar-benar ingin memajukan persepakbolaan di negeri ini atau malah ingin menghancurkannya? Harus ada kompromi untuk menghentikan kemelut ini. Tragis memang persepakbolaan Indonesia, minim prestasi malah besar dalam masalah.
*Penulis adalah Pecinta Sepakbola Indonesia
Ego Pengurus PSSI, Memajukan atau Menghancurkan?
Written By angkringanwarta.com on Wednesday, February 01, 2012 | 09:06
Label:
Catatan