Oleh Dede Supriyatna
Perayaan Imlek masih terasa kental, terdapat dijumpai beberapa tempat pernak-pernik Imlek. Sebelumnya, seandainya kita bersentuhan baik secara langsung maupun tidak, kita akan menyaksikan bagaimana menjelang Imlek ke ke-2563 yang jatuh (23/1), beberapa Vihara mulai dibersihkan untuk mempersiapkan para umatnya bersembahyang.
Salah satu Vihara yang terdapat di Jakarta, yakni Vihara Jin De Yuan. Sebuah Vihara diperkirakan akan ramai dikunjungi warga Tionghoa dengan jumlah “kira-kira akan sampai 5 ribu atau 8 ribu orang yang akan sembahyang di sini," ujar pengurus Vihara Yu Ie Jumat siang (20/1).
Kesibukan mereka, mungkin hampir sama dengan kesibukan kita kala mempersiapkan Haul Gus Dur bertemakan "Semalam Bersama Gus Dur." Acara yang jatuh sebelum acara Imlek itu, untuk sebuah acara tersebut, hampir setiap malam hingga fajar menyingsing hanya untuk berbicara tentang acara. Terkadang kita berkumpul di angkringan sambil berbicara tentang tujuan dari acara tersebut.
Dua acara yang tentunya akan berbeda dan memang tak berniat untuk menyamakan dari keduanya. Tapi, setidaknya kita sama-sama memahami bagaimana perayaan Imlek didapati hubungan dengan Gus Dur, lebih tepatnya pemimpin. Sebab waktu itu, Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Selain itu, tanpa disadari terdapat hal-hal yang berkaitannya dengan kita.
Kala berbicara tentang Imlek sebagaimana kita tahu, bahwa mengenai acara Imlek yang dirayakan secara meriah tak terlepas dari kebijakan Pemimpinnya, sebagaimana terlihat pada zaman Orba bahkan sebelum Orba para Vihara sepi dari pengunjung, para jamaat melakukan sembahyang secara seyumbunyi-sembunyi.
Meskipun Negara telah menjamin kebebasan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kebebasan tersebut, tercantum dalam UUD 1945, pada pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Bagaimana seorang pemimpin menyampingan sebuah pandangan sebuah landasan bangsa. Atau bagaimana seorang pemimpin daerah melarang terbangunya tempat ibada. Sebab perihal penguasa bukan hanya pada Presiden, pempim akan dijumpai hingga lingkup keluarga. Untuk lingkup universitas akan dijumpai pemimpin yang disebut Rektor.
Rektor yang memimpin sebuah Universitas dibantu para pembantu Rektor agar terwujudnya sebuah kampus yang tak terlepas dari tiga hal atau biasa sebut dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dari ketiga hal tersebut, merupakan sebuah landasan berdirinya perguruan tinggi.
Lantas bagaimanakah peranan Rektor untuk mewujudkan ketiga hal tersebut? Setidaknya terlihat saat menjelang acara "Semalam Bersama Gus Dur" kita yang sempat berjumpa dengan Purek III, perihal perijinan tempat sehari sebelum hari H, kita yang mencoba untuk berdialog dengan Purek dan imbas dialog, yakni kita perlu membuat surat perjanjian antara lain agar waktu tak melebih hingga pukul 23.00 WIB salah satu poin yang bisa dikatakan sebagai surat perjanjian lengkap tanda tangan dan materai.
Itu hanya sebagaian dari perihal ijin. Perihal yang lainnya, yakni saat penyampain aspirasi teman-teman yang dilakukan dalam bentuk aksi harus berbenturan dengan pihak keamanan. Akibat benturan dengan Satpam berakiba harus dirawat Ruamah Sakit UIN Jakarta. Waktu itu, Mahasiswa aksi untuk menuntut pencabutan SK Senat, (13/1).
Lalu bagaimana hubungan Rektor selaku pemimpin, silahkan dinilai sendiri? Sebab saya tak mempuanyai hak untuk menilainya. Tentunya tak sekejam hubungan antara pemimpin yang melarang warganya untuk menjalankan Imlek?
Kembali perihal Gus Dur, sedikit mengutip ungkapan Rendi selaku seksi acara, mengukapkan tujuan dari acara "Semalam Bersama Gus Dur" adalah bagaimana setiap individu baik yang tergabung dalam komunitas (organisasi) maupun tidak, kita sama-sama bergerak membangun, tapi bukan dalam seragam.
Setiap dari mereka bergerak sesuai dengan apa yang telah menjadi visi mereka, semisal Kalacitra dengan fotonya, LPM INSTITUT dengan tulisanya, Syahid dengan teaternya, dan lain-lain. Jadi kita melihat Gus Dur bukan pada tokohnya yang membuat kita menskralkan beliau, tapi pada geraknya dan semoga saja semua yang terlibat, para pengunjung bisa memaknainya nilai-nilai yang terdapat dalam acara tersebut.
Dan tentunya dilakukan atas nama pribadinya, bukan karena atau membawa seseorang, atau hanya kita hanya bersumbunyi di balik logo lalu hanya sebatas mensakralkan logo tersebut, tanpa bisa menjadi apa yang terdapat dalam nilai-nilai yang terkandung dalam logo tersebut.
Perihal Gus Dur, terutama untuk gerak diungkapkan Bondan Gunawan, kala ia berorasi, dalam orasinya, ia menuturkan bahwa, "Yang harus kita pelajari adalah perjalanan hidup beliau, yakni spirit-nya. Meskipun secara genitik Gus Dur mempunyai kebesara dari kekenya, tapi Gus Dur tidak pernah berpisdato atau berbicara menceritakan kebesaran kakeknya.
Untuk mencapai apa yang dituju, ia melakukan bergerak untuk sesuatu. Dia dengan lantang, sebagaimana Gusdur datang ke kelompok-kelompok minoritas dan melihat anak tidak bisa punya catatan akta kelahiran. ia berbicara pemerintah tidak benar, hanya gara-gara kawin tidak berdasarkan agama yang ada di dalam Undang-Undang yang diakui.
Lalu bagaimana Gus Dur Maka kepada Anda sekalian, camkan malam ini, judul yang anda pampang di atas, berani menuliskan Semalam Bersama Gusdur, kalau anda bisa maknai, satu yang harus anda kerjakan, dan seandainya berani mengerjakannya anda juga harus beranai bukan hanya dicaci maki, kalau perlu jadi martir,
Jadi menghormati Gusdur bukan berarti kita mengultuskan beliau, tapi pelajarilah apa yang dia lakukan. Dan jadikan semua itu spirit buat kita semua.
*Sebagaimana catatan yang lain, tulisan ini hanya sebuah transkip dari tulisan yang lain dan tutur seseorang.
Perayaan Imlek, Peran Penguasa, dan Gerak*
Written By angkringanwarta.com on Friday, January 27, 2012 | 11:24
Label:
Catatan
+ komentar + 1 komentar
jadi martir, sereemm