Semenjak orde baru berkuasa orientasi yang berpihak kuat kepada modal asing sudah mulai ditunjukkan secara nyata, setidaknya ada 39 Undang-Undang yang berorientasi sangat liberal. Amandemen Undang Undang Dasar 1945 ditengarai telah ditunggangi agenda liberalisasi ekonomi.
Hal tersebut disampaikan Ketua Poksi PDI Perjuangan Arif Wibowo dalam acara "Seminar Arah Politik Legislasi Nasional dan Launching Buku “Kudeta Putih", di Gedung Nusantara I DPR, Senin (22/10).
"Amandemen UUD 1945 yang dimaksudkan membatasi kekuasaan absolut presiden justru ditunggangi dengan mengubah pondasi dasar pembangunan ekonomi Indonesia yaitu Pasal 33 UUD 1945," ujarnya. Kata Arif, Dalam kajian Fraksi PDI Perjuangan terhadap 1.457 UU sejak 1945 hingga 2012 telah menunjukkan pergeseran arah politik legislasi.
Arif menyampaikan, salah satu konsekuensi kebijakan terbuka terhadap modal asing adalah meningkatnya secara fantastik penguasaan dalam sektor agraria. Pada tahun 2011 investasi asing di dominasi 4 negara: Singapura, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris meliputi tambang, listrik, gas, air, transportasi, tanaman pangan dan perkebunan.
“Saat ini pertambangan di Indonesia 75% dimiliki oleh asing dan 70% diantaranya adalah milik perusahaan asing yaitu Amerika Serikat, Angka-angka tersebut maknanya adalah ketimpangan penguasaan oleh asing di negeri sendiri, dengan kata lain pameo menjadi budak di negeri sendiri kini tengah berlangsung,” tegasnya.
Sebagai salah satu penulis buku dan peneliti pada Institute for GlobalJustice (IGJ), Salamuddin Daeng menyesalkan elit politik di DPR terlalu mudah menerima gagasan dari lembaga asing semacam Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) serta Asian Development Bank (ADB) sebagai kebenaran.
Daeng menyebutkan, gagasan tersebut diantaranya, isi Perjanjian World Trade Organisation (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia yang mengarah pada perdagangan bebas; Bilateral Investment Treaties (BIT) berupa perjanjian investasi tingkat tinggi tentang insentif investasi dan larangan nasionalisasi tanpa kompensansi yang layak; serta Free Trade Agreement (FTA) semacam Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang mengarah pada pelonggaran aturan tentang penggunaan bahan baku dalam negeri (local contents) serta kewajiban kerjasama (joint venture). "Jika seperti ini terus, pada akhirnya negara akan kehilangan kedaulatan. Yang berkuasa adalah rezim internasional," pungkasnya.
(Jong)