Kompetisi Versus Edukasi
Written By angkringanwarta.com on Sunday, November 04, 2012 | 00:30
Judul Buku : Pengembangan Kreativitas dan Enterpreneurship dalam Pendidikan Nasional
Penulis : Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed.
Tahun Terbit : Juni 2012
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Jumlah Halaman : xviii + 238 hlm
Kompetisi Versus Edukasi
Kini kompetisi bak hukum rimba di penjuru dunia, kompetisi merasuk dalam tiap ceruk kehidupan, termasuk pendidikan tidak luput darinya. Perluasan paham kompetisi ini turut serta dalam wacana globalisasi yang tengah gencar dipelopori negara-negara maju, menjadikan pendidikan di manapun berorientasi pasar.
Hal inilah yang dicermati Pakar Pendidikan H.A.R Tilaar dalam karyanya “Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneruship dalam Pendidikan Nasional”. Buku ini mengetengahkan tema pendidikan kewirausahaan.
Tilaar mencoba menyingkap tabir di balik demam kewirausahaan dalam ranah pendidikan. Pembaca seakan terperangah manakala menelusuri alur berpikir Tilaar terhadap kewirausahaan yang ingin mengubah wajah pendidikan nasional. Pembaca menemukan alam pikiran rumit, rinci, dan tentu bertolak belakang dari kenyataan.
Menurut Tilaar, arus globalisasi sudah tak dapat dihindarkan, dan percuma menutup diri dari badai yang menghempaskan sekian banyak kehidupan tradisional. Bagi Tilaar, sesegera mungkin masyarakat mengubah pola pikir, globalisasi menyimpan efek positif dan negatif.
Dalam rangka filterisasi itulah lembaga pendidikan patut berperan. Bahaya dari globalisasi adalah penyeragaman manusia, menelantarkan orang-orang miskin, dan gaya hidup konsumerisme. Efek negatif tersebut akan berakibat pada keterbelakangan terus menerus negara-negara berkembang.
Lembaga pendidikan, tulis Tilaar, harus mampu berbuat lebih dari sekadar menjalankan birokrasi pendidikan semata. Lembaga pendidikan di tiap satuannya, mesti menciptakan generasi masa depan yang tangguh dan kreatif, ia menyarankan agar lembaga pendidikan berorientasi mengembangkan kewirausahaan dalam tiap aktivitas pembelajaran.
Tapi merumuskan pendidikan kewirausahaan dengan menembus dinding kapitalisme pendidikan, berlainan dengan praktek di lapangan pendidikan. Seakan wirausahawan (entrepreneur) dibedah secara antropologis dan sosiologis, tidak semata-mata melalui fungsi ekonomi saja.
Wirausahawan, tulis Tilaar, merupakan perwujudan dari keberhasilan seseorang menerapkan cara berpikir kritis dan berpikir kreatif. Pada dasarnya, wirausahawan adalah orang-orang tidak puas terhadap kenyataan mapan.
Hakikat seorang wirausahawan merupakan pionir pembaharuan jaman. Segala kemajuan peradaban manusia bertumpu pada cara berpikir kritis, cara berpikir kreatif-inovatif yang menghasilkan hal-hal baru di tengah masyarakat, sebagaimana pula lahirnya modernisasi dan globalisasi saat ini.
Sementara dengan mengutip pendapat Oon-Seng Tan, Tilaar menjelaskan, sumber dari segala kreativitas ialah penemuan problem. Seorang anak tidak mungkin mengembangkan kreativitas apabila tak pernah menemukan masalah dalam keseharian hidup.
Berbagai penemuan inovatif, seperti Mie Ramen pada Perang Dunia II dan Lampu Kerosin anti kebakaran dari Sri Lanka, berawal dari masalah sehari-hari masyarakat. Dari problem keseharian tersebutlah muncul kreativitas demi mencari solusi.
Sedangkan Amabile berpendapat, karya kreatif senantiasa berangkat dari motivasi intrinsik untuk berbuat sesuatu yang berbeda. Orang berpikir kreatif terbiasa dengan mengidentifikasikan fakta dari suatu masalah, mereka kemudian berusaha menemukan ide pemecahan, serta implementasi ide serta evaluasi.
Di lain sisi, seorang wirausahawan sejati juga membutuhkan cara berpikir kritis. Cara berpikir tersebut seolah membimbing seseorang untuk mencari kebenaran, meski masih menurut kriteria tertentu. Artinya, laju perubahan masayarakat akan selalu mungkin, jika terdapat pemaparan dan penggalian kebenaran-kebenaran baru. Hal inilah yang menurut Tilaar telah membawa masa pencerahan (Aufklarung).
Bertolak dari gagasan tersebut, Tilaar mengupayakan agar lembaga pendidikan mampu mencetak wirausahawan sebagai upaya pembebasan anak manusia. Tapi sayang, Tilaar juga mencatat masih terdapat banyak kelemahan dalam lembaga pendidikan yang ada sekarang ini.
Lembaga pendidikan sekarang ini, tulis Tilaar, masih merupakan wilayah yang dicengkeram kekuatan politik dominan. Karena itu, untuk menanamkan suasana kondusif bagi persemaian cara berpikir kritis dan berpikir kreatif, lembaga pendidikan sudah seharusnya menengok kembali ajaran Teori Kritis dan Postmodernisme, keduanya merupakan landasan bagi pendidikan transformatif.
Berdasar Teori Kritis, tidak akan pernah ada bentuk-bentuk pengetahuan yang mapan, segala kritik berlangsung untuk terus mencari kebenaran. Bagi Teori Kritis, tugas pendidikan tidak sekadar memberikan pengetahuan murid akan fakta-fakta, melainkan pula secara bersama-sama menyingkap keberadaan fakta tersebut sehingga memungkinkan terjadinya perubahan.
Begitupun Pemikiran Postmodernisme. Menurut Tilaar, Postmodernisme kerap menolak bentuk-bentuk penyeragaman pengetahuan. Postmodernisme menjanjikan kehidupan plural sehingga pengetahuan yang diasah melalui pendidikan bisa lebih kontekstual.
Namun demikian pendidikan nasional masih tidak mencerminkan hal demikian. Meski kini dunia pendidikan tengah gandrung menggeluti tema kewirausahaan, tetapi secara substansial belum mengubah paradigma pendidikan.
Lembaga pendidikan, menurut Tilaar, masih menjalankan rejim tes dan nilai. Belum lagi upaya lembaga pendidikan mengejar standar-standar internasional, hal ini justru menjerumuskan iklim pendidikan ke lembah kompetisi, di mana yang kuat akan menang dan bagi mereka kaum lemah tak berpunya pasti tersingkirkan.
Setidaknya buku ini layak dijadikan landasan bagi para pembuat kebijakan dan pelaku di dunia pendidikan. Dengan hadirnya karya Tilaar, semua pihak seakan diajak bertanya serta mencarikan jawaban akan masa depan bangsa; seperti apa generasi ideal yang kelak mengemban jalan peradaban?
(Kahfi/Mahasiswa UNJ)
Label:
Resensi