Taicing: Festival keempat pertama kalinya ada festival
lampion dan jazz di atas awan.
Sebuah jawaban ‘iya’ dari sahabat kampus membuat perjalanan
kami terasa dadakan dan tanpa rencana. Padahal sejak masih kuliah dulu, kami
selalu membicarakan mengenai Dataran Tinggi Dieng dengan segala keindahannya.
Tanpa pikir panjang, saya langsung menghubungi tour travel
Tukang Jalan untuk pesan seat menghadiri Trip Dieng Culture Festival keempat.
Segala persiapan pun dimulai dari hal-hal remeh hingga jaket tebal dan sendal
gunung.
Pada Jumat pekan lalu, tepat pukul 6 sore, kami sudah tiba
di meeting point Plaza Semanggi, Jakarta Pusat. Rasa tak sabar ingin segera
pergi dari Jakarta menuju dataran para dewa. Kata Dieng sendiri diambil dari
bahasa Kawi, di (tempat) dan Hyang (Dewa).
Perjalanan kali ini, sejujurnya sedikit melanggar prinsip
ngabolang yang dianut sejak enam tahun lalu yakni tak ingin pakai tour travel
dan ngetrip seadanya. Ini terpaksa dilakukan karena saya tidak ambil cuti dan
tak ingin ribet dengan urusan homestay dan sebagainya.
Dari Jakarta perjalanan menuju Dieng, Desa Dieng Kulon,
Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara dan Dieng, Jawa Tengah sekitar 21 jam.
Padahal jarak tempuh biasanya yaitu 6 hingga 10 jam. “Ini karena elf (mobil
sewaan) telat datang, macet di Cikampek, dan ada longsor di Wonosobo,” kata
tour leader Tukang Jalan, Wira Adi Darma.
“Gue mau bikin make a wish ah, kalau nanti terbangin
lampion,” kata sahabat saya, Mimi Fahmiyah. Sayangnya harapan tersebut pudar.
Di tengah gelap gulita kompleks Candi Arjuna, panitia hanya menyiapkan lampion
seadanya dan tak sebanding dengan jumlah pengunjung. Kami pun harus mengemis
meminjam lampion untuk ajang foto narsis.
Awalnya, festival lampion dibuka oleh Bupati Banjarnegara
Sutedjo Slamet Utomo. Ketika satu lampion sudah terbang, riuh tepuk tangan yang
menonton tampak keras terdengar. Saya pun tak berhenti mengucap syukur. Dalam
hati, tak dapat yang di Waisak, di Candi Arjuna pun jadi.
Malam belum usai, dan perut sudah keroncongan. Sepanjang kawasan
wisata Dieng, kami mencari mie ongklok yang terkenal. Tiga tempat dilalui, tak
membuahkan hasil. Dengan kecewa, kami pulang ke homestay untuk istirahat. Esok
adalah inti festival yang membuat saya penasaran setengah mati selama ini.
Bersambung...
***