Berita Terbaru:
Home » » Liga Champion, Inggris dan Tradisi Sepakbola

Liga Champion, Inggris dan Tradisi Sepakbola

Written By angkringanwarta.com on Friday, February 24, 2012 | 22:35

Oleh Ahmad Makki*

Setelah Chelsea dipesiangi Napoli 3-1, tadi pagi, sepakbola Inggris berduka. Dominasi di Liga Champion selama bertahun-tahun mendadak runtuh dalam semusim. Sehari sebelumnya, Arsenal yang lunglai dibantai 4-0 oleh AC Milan. Beberapa bulan lalu, dua tim dari Manchester, masing-masing City dan United, tak lolos di fase grup. Ironisnya, keduanya saat ini memuncaki klasemen Liga Inggris.

Mundurnya prestasi klub-klub sebuah negara dalam kancah Eropa tentu bukan kisah baru. Negara-negara besar memang punya fase kejayaan masing-masing. Apakah kasus kemunduran Inggris ini pun cuma soal siklus?

Ketika Italia mendominasi Liga Champion pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, Real Madrid dan Barcelona bergantian menyelamatkan muka Spanyol. Sementara Inggris bergembira atas keajaiban yang dibawa Alex Ferguson di Manchester United. Saat Inggris menguasai, klub-klub seperti Madrid, Barca, Milan, Juventus dan Internazionale memberikan perlawanan berarti. Namun tidak demikian dengan tim-tim Inggris musim ini, saat Spanyol mendominasi.

Musim lalu Manchester United menjadi finalis Liga Champion. Dikandaskan Barca secara total, Alex Ferguson mengakui level Barca di atas timnya. Tapi saat itu memang tak ada tim yang selevel Barca. Kekalahan MU bukan hal yang terlampau bikin malu. Namun musim ini mereka tak mampu bersaing dengan tim-tim nonunggulan. Demikian juga City. Sementara nafas Arsenal dan Chelsea yang lebih panjang bisa kita kira-kira kapan berakhirnya.

TRAGEDI HEYSEL tahun 1985 yang menyebabkan kematian 39 orang membuat klub-klub Inggris tak boleh mengikuti kompetisi luar negeri. Sebelum hukuman ini, tim-tim Inggris punya prestasi hebat di Champion. Klub antah-berantah seperti Nottingham Forest saja sanggup juara Champion dua kali berturut-turut. Sementara Anton Villa kebagian sekali. Ini belum dihitung dengan masa jaya Liverpool. Tapi selepas hukuman itu, wakil mereka selalu terseok-seok. Setelah penantian panjang, barulah MU memecahkan telur pada tahun 1999, dan disusul masa kebangkitan klub Inggris.

Dalam hal ini Inggris berutang pada para pelatih seperti Alex Ferguson, Arsene Wenger, dan Jose Mourinho. Mereka membawa perubahan penting bagi Liga Inggris. Fergie dengan kemampuan adaptasinya terus meng-upgrade MU untuk tetap kompetitif di Eropa. Wenger mengenalkan gaya Eropa Daratan. Sementara Mourinho menunjukkan perlunya detail.

Mereka menaikkan level kompetisi Liga Inggris setaraf dengan liga-liga elit Eropa lainnya. Ingatlah ketika Liga Italia diguncang kasus Calciopoli, sementara Spanyol masih menggapai-gapai, Inggris menampilkan liga paling menghibur di dunia dengan para pemain dan pelatih terbaik di masanya. Tapi bagaimana ketika Mourinho pergi, sementara Fergie dan Wenger tengah mengalami stagnasi? Bisa dilihat hasilnya di Liga Champion musim ini.

Pelatih. Itulah soal besar yang mesti dipecahkan Inggris. Saat ini, di lima klub berperingkat tertinggi di Liga Inggris hanya ada seorang pelatih tuan rumah. Dan ketika timnasnya ditinggal Fabio Capello, mereka kelabakan cari pengganti. Jujur saja, tak banyak pelatih negeri ini yang masuk kualifikasi pantas. Ini terkait dengan jumlah pelatih di sana.

Dalam data perbandingan jumlah pemain dan pelatih di FIFA, Inggris memang memiliki rasio menyedihkan. Spanyol misalnya, rasionya mencapai satu pelatih untuk tiap 14 pemain. Sementara Inggris, mereka bahkan ditinggalkan Yunani dalam hal ini. Asumsinya, terlalu banyak pemain Inggris yang tumbuh tanpa bimbingan intensif para pelatih, karena jumlah yang minim. Ini bisa jadi penjelasan, mengapa pemain-pemain Inggris selalu kesulitan beradaptasi dengan sistem selain bola-bola panjang dan formasi 4-4-2.

Dalam buku Soccernomic, Simon Kuper dan Stefan Szymanski menceritakan betapa di Inggris yang demikian antusias dengan sepakbola, profesi pelatih sepakbola tak terlalu dianggap terhormat. Sepakbola adalah olahraga yang tumbuh di kalangan kelas pekerja. Ketika Inggris kian makmur tumbuhlah kelas menengah yang lebih sejahtera, sementara pekerjaan di sepakbola tetap dianggap bagiannya kelas pekerja yang jumlahnya terus mengecil.

Tentu tak ada yang salah jika sepakbola dimainkan kelas pekerja. Persoalanya, dengan kian menciutnya populasi mereka, berarti kian kecil pula kemungkinan bakat-bakat bagus masuk. Sementara kelas-kelas menengah baru kian terekslusi dari sepakbola. Padahal mereka punya keunggulan pendidikan yang boleh jadi berpengaruh baik terhadap perkembangan sepakbola. Kondisi ini terjadi sejak pertumbuhan pesat ekonomi Inggris pasca Perang Dunia II.

Di sekitar periode yang sama pula Inggris tak lagi menjadi referensi bagi negara-negara besar sepakbola. Klub-klub Inggris baru bisa berbicara banyak di Eropa pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an, ketika tiga klub mereka mendominasi Liga Champion. Tapi sepakbola terus berkembang, dan Inggris kembali gagal beradaptasi dengan kerumitan taktik. Pengakuan Andre Villas-Boas ketika menjadi asisten Mourinho, di Chelsea dan Inter Milan, menegaskan hal tersebut. Villas-Boas yang bertugas mengamati calon lawan mengakui bahwa klub-klub Italia mampu mengubah strategi dengan kontras dalam sebuah laga. Ini tak ia temukan di Liga Inggris.

Hal itu bisa menjadi gambaran perbedaan khazanah pengetahuan taktik para pelatih di Inggris dibanding negara besar lain. Karenanya mereka butuh keajaiban seperti Fergie dan Wenger, atau Brian Clough yang membawa Nottingham Forest merajai Eropa dulu. Tanpa pelatih-pelatih seperti itu, Inggris sulit bersaing di Eropa. Tapi yang lebih dibutuhkan Inggris adalah sistem yang melahirkan banyak Wenger, Fergie, Clough sekaligus di tiap generasi.

*Penulis adalah penulis kolom bola


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta