Berita Terbaru:
Home » » Maldini

Maldini

Written By angkringanwarta.com on Sunday, January 27, 2013 | 13:41

Oleh A. Zakky Zulhazmi*

Saya punya tetangga kos baru. Seorang lelaki yang ketika datang pertama kali membawa banyak buku. Saya menghitung ada sekitar tiga koper buku yang ia bawa. Anehnya, saya tidak melihat ia membawa baju-bajunya. Belakangan saya malah melihat ia membeli tiga rak buku baru, tempat bagi buku-bukunya. Saya melempar senyum saat ia sedang menata buku dan saya melintas di depan kamarnya yang kebetulan pintunya terbuka. Dibalaslah senyum saya dengan senyuman pula. Namun hanya senyuman seadanya.
Saya belum sempat berkenalan dengan lelaki itu. Pasalnya, setiap saya berangkat ke kantor, kamar lelaki itu masih tertutup. Tampaknya belum bangun tidur. Nah, ketika saya pulang kerja, barulah saya bisa melihat lelaki itu sibuk dengan laptopnya. Seperti menulis sesuatu. Setiap melintas depan kamarnya saya menengok sesaat dan bertukar senyum. Melihat banyaknya buku lelaki itu, saya mengira mungkin dia wartawan atau penulis. Namun yang pasti ia adalah seorang kutu buku.
Pulang kerja saya sudah sangat lelah dan tak sempat berbincang dengan tetangga kos saya itu. Saya harus buru-buru tidur jika keesokan paginya saya tak mau terlambat bangun. Begitulah, saya menikmati rutinitas harian yang tak pernah bertemu matahari. Berangkat saat masih gelap dan pulang saat hari sudah gelap.
Melihat rutinitas saya banyak orang merasa kasihan. Saya bisa maklum. Tapi, bagi saya, hidup bukan hanya perkara menjalani apa yang disuka dan dimau, namun juga soal ketabahan mengikuti garis Tuhan. Sejujurnya saya tidak terlalu suka dengan pekerjaan saya dengan segala rutinitasnya yang membosankan. Tapi mungkin itu garis Tuhan, yang musti saya jalani, dengan tabah.
**
Suatu malam lelaki itu mengetuk kamar saya. Saya baru saja selesai mandi kala itu. Sambil membasuh rambut dengan handuk, saya membuka pintu.
“Maaf, ini saya mau kasih oleh-oleh buat, Mbak,” katanya tanpa basa-basi.
“Eh…iya, terima kasih,” saya agak gugup dan terkejut.
“Tak perlu kaget begitu. Hehe. Oya, kita belum kenalan, nama saya Maldini, nama Mbak?”
“Aku Kiki. Maldini... Hmmm…seperti nama pemain AC Milan.”
“Ya, ayah saya penggemar berat AC Milan, tak aneh nama saya Maldini, bek terbaik yang pernah dimiliki AC Milan.”
“Oh, menarik juga. Ngomong-ngomong terima kasih ya oleh-olehnya,” tukas saya.
Maldini mengangguk dan berlalu, menuju kamarnya. Saya buru-buru memanggilnya demi melihat oleh-oleh yang diberikan kepada saya: jenang Teguh Raharjo.
“Maldini, ini oleh-oleh dari kampungmu?
Maldini menoleh lalu menjawab. “Iya.”
“Kamu dari Ponorogo?”
“Iya.”                                                       
“Sama!
“Ah, yang bener?
“Seriuuuus. Kowe Ponorogone ngendi?
“Haha. Dunia itu sempit. Di sini ketemunya orang Ponorogo juga. Aku Mangkujayan. Mbak mana?
“Aku Kertosari.”
Malam itu, saya ngobrol banyak dengan Maldini. Sambil menikmati jenang Teguh Raharjo. Kami membincang pelbagai hal tentang Ponorogo. Mendadak saya jadi kangen sekali kampung halaman saya yang tenang dan teduh itu. Saya pulang kampung cuma setahun sekali, hanya ketika jelang lebaran. Itupun tidak lama. Paling seminggu saja di rumah. Kantor saya tidak banyak memberikan liburan untuk karyawannya.
Dengan Maldini saya banyak bernostalgia tentang kota kecil tempat kami lahir itu. Maldini juga jarang pulang. Tempo hari ia pulang lantaran kakaknya menikah. Kami membincangkan makanan-makanan Ponorogo yang tentu saja sukar didapat di ibu kota ini. Kami sama-sama merindukan sarapan sego pecel di pagi hari. Kami kangen makan serabi Ponorogo yang beda dengan serabi Solo, apalagi serabi Bandung. Kami juga tiba-tiba pengen makan sate ayam Pak Tukri atau Pak Keceng. Ah, Ponorogo memang ngangeni.
Maldini bahkan bercerita jika ia pernah tinggal satu bulan di sebuah hotel di tepi Telaga Ngebel untuk mengerjakan sebuah buku. Ia bilang, ia sangat menikmati saat-saat rehat dari ‘semedi’ menulis buku dan makan nila bakar di tepi telaga. Juga saat mengitari telaga dengan perahu saat senja tiba. Dan saya tiba-tiba sangat ingin pulang kampung.
Malam kian larut. Saya mengakhiri obrolan. Kebetulan Maldini juga ingin melanjutkan menulis. Saya juga tak mau besok bangun kesiangan. Obrolan malam itu sedikit mengobati rindu saya akan kampung halaman. Saya pun bisa tidur nyenyak. Entah akan mimpi apa saya malam ini. Semoga mimpi tentang Ponorogo.
**
Sejujurnya saya masih penasaran dengan Maldini. Apa pekerjaannya? Apa yang sedang ditulisnya? Saya juga masih ingin ngobrol-ngobrol soal Ponorogo dengannya. Sayang, beberapa hari ini saya jarang menemui Maldini. Pintu kosnya selalu tertutup setiap saya lewat depan kamarnya. Tidak pagi, tidak malam. Kerap saya mencuri waktu untuk bisa pulang kantor lebih awal agar saya punya sedikit waktu luang untuk berbincang dengan Maldini. Tapi pintu kamarnya selalu tertutup. Sandalnya juga tidak ada di depan kamar. Apakah Maldini pindah kos? Waktu saya tanya ibu kos, status Maldini masih ngekos di sini. Lalu di mana ia?
**
Saya kesal sekali sore ini. Sudah lebih dari tiga jam saya berada di bis kota. Macet total. Perjalanan pulang kantor yang biasanya saya tempuh dalam dua jam, kini tak jelas harus sampai berapa jam. Saya kemudian mendengar kabar bahwa jalan yang biasa saya lalui tergenang air hingga sedada orang dewasa. Astaga!
Sejak pagi memang hujan turun dengan intensitas tak menentu. Antara sedang dan tinggi. Konon, ada tanggul yang jebol. Oleh sopir bis kota seluruh penumpang diminta turun, sebab bis kota ini akan putar balik. Kata sopir, penumpang  bisa naik perahu karet untuk melintasi banjir. Atau lewat jalan tikus dan mencari angkutan lain untuk sampai di tempat tujuan. Semua penumpang menggurutu. Tapi apa mau dikata? Bencana tidak bisa ditolak. Dan yang kena imbas bukan cuma saya saja. Saya boleh bersyukur. Setidaknya saya hanya kesulitan pulang ke kos lantaran tertahan banjir, bukan sebagai orang yang rumahnya direndam banjir.
Sedikit menghilangkan jenuh saya mampir di sebuah warung kopi. Saya memesan bubur kacang hijau. Di kejauhan saya lihat relawan berdatangan. Mereka bergerak sigap ke daerah yang tidak terlalu jauh dari genangan air. Membangun posko. Kardus-kardus yang mungkin berisi mie instan mulai ditata di posko itu. Warga korban banjir satu persatu berdatangan.
Lama saya memandangi kegiatan para relawan. Rasanya saya mengenal salah satu di antara mereka. Bukankah itu Maldini?! Usai membayar bubur kacang hijau saya melangkah pelan menuju posko relawan itu. Saat sudah dekat saya meneriakkan namanya.
“Maldini!”
Benar itu Maldini. Ia menoleh ke arah saya.
“Eh, Mbak Kiki, kok ada di sini, Mbak?”
“Iya, saya baru pulang kerja. Tapi bisku tidak bisa lewat karena banjir.”
“Oh, di sini termasuk yang cukup parah, Mbak. Ada tanggul jebol. Airnya ke sini semua.”
“Jadi beberapa hari ini kamu tidak kelihatan di kos karena ini?”
“Wah, nggak, Mbak. Kemarin aku juga bantu teman untuk advokasi Luviana.”
“Luviana?”
“Dia wartawan salah satu televisi swasta yang didzolimi bosnya. Hehe. Eh, Mbak Kiki mau saya anter pakai perahu karet? Di depan sana air tidak terlalu tinggi, Mbak. Ada bis yang bisa lewat. Mbak bisa naik bis itu. Tapi muter sih.”
“Boleh, Mal. Waduh, terima kasih banget lho ini. Muter nggak masalah, yang penting sampai. Hehe.”
Di perahu karet Maldini banyak bercerita tentang suka duka jadi relawan banjir. Saya lantas membicarakan kemungkinan menginisiasi teman-teman di kantor untuk mengumpulkan bantuan, lalu disalurkan ke posko Maldini. Dengan antusias Maldini menyambut rencana saya itu. Sebelum saya turun dari perahu karet bersama beberapa orang lain, Maldini menukas.
“Mbak Kiki, kalau nanti banjir sudah surut, nanti saya ajak makan sate ayam Pak Penyok di Bulungan. Dia itu anak Pak Keceng yang merantau ke Jakarta. Rasa satenya sama persis dengan sate Pak Keceng yang di Ponorogo. Kita makan sate sambil ngobrol soal Ponorogo. Bagaimana?”
Mata saya berbinar demi mendengar ajakan itu. “Setuju!” kata saya setengah memekik.
Dalam perjalanan pulang ke kos saya jadi teringat masa kecil saya dulu. Sehabis nonton pertunjukan Reyog di alun-alun, biasanya saya mampir di sate ayam Pak Keceng bersama teman-teman. Satenya murah tapi enak. Saya juga kemudian teringat banjir yang pernah terjadi di Ponorogo karena Bengawan Solo meluap. Saya lupa tahun berapa. Pastinya itu ketika saya awal-awal datang ke Jakarta. Rumah nenek saya terendam banjir, satu meter tingginya. Ah, gara-gara ketemu Maldini saya jadi banyak mengenang Ponorogo!
**
Banjir telah sepenuhnya surut. Sekarang sudah jarang hujan. Kalaupun hujan paling hanya gerimis. Tanggul jebol juga sudah diperbaikai. Katanya, Pak Gubernur memandori langsung perbaikan tanggul. Baguslah. Jika teringat banjir surut, saya teringat janji Maldini. Mengajak saya makan sate Pak Penyok di Bulungan sambil ngobrol soal Ponorogo.
Namun, sampai kini Maldini belum juga kelihatan batang hidungnya di kos.
Pulang kerja aku mendapati beberapa polisi sedang menemui ibu kos. Setelah polisi-polisi itu pulang aku menanyai ibu kos.
“Ada apa, Bu?”
“Itu, Nak, polisi tadi nanya soal Maldini. Mereka mencari Maldini. Ibu bilang ada, tapi kamar kosnya kosong beberapa hari ini. Ibu sudah bukakan kamar kosnya. Polisi juga sudah memeriksa. Mengambil beberapa buku catatan. Lalu pamit pergi.”
“Memang Maldini terlibat kasus apa, Bu?”
“Wah, apa ya? Ibu tadi kurang jelas mendengar penjelasan polisi. Tapi kalau tidak salah, Maldini diduga mengumpulkan buruh untuk mogok kerja dan membuat kekacauan di sebuah pabrik di Bekasi.”
Aku mendadak teringat kasus pemogokan buruh di Bekasi tempo hari. Menurut berita, para buruh mengamuk dan membakar mobil pabrik lantaran tiga bulan gaji mereka belum dibayarkan. Mereka juga sempat memblokir jalan tol. Tapi bagaimana bisa Maldini terlibat? Gelap. Segelap ketidaktahuanku kapan bisa makan sate ayam Pak Penyok di bulungan sambil ngobrol soal Ponorogo dengannya.

Cordova, Januari 20113

*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta semester akhir. Kerap minum kopi di warkop Sangkan Hurip. Sesekali menonton pertandingan Liga Inggris di warkop tersebut.    


Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta