Berita Terbaru:
Home » , » Cerita Soal Keabadian Sampai Hukuman Mati

Cerita Soal Keabadian Sampai Hukuman Mati

Written By angkringanwarta.com on Wednesday, September 11, 2013 | 18:58

Peran media dalam menghadirkan berbagai peristiwa kepada publik bisa dikatakan sukses. Tak sekadar menunjukkan bahwa peristiwa itu ada, tapi dengan hadirnya sebuah laporan baik berupa tulisan maupun visual dapat menjadi abadi.

Hal itu sepertinya disadari benar sastrawan besar Indonesia, Pramudia Ananta Toer. Pria kelahiran Blora ini sekan tak rela jika peristiwa menguap begitu saja. Untuk itu, ia mengajak orang-orang untuk menulis. Menurutnya, dengan menulis merupakan sebuh pekerjaan untuk keabadian. “Orang boleh pandai setinggi ... Menulis adalah bekerja untuk keabadian," tulsinya.

Itu saja masih membuat keabadian jadi lapuk. Sepertinya banyak dengan segala kesengajaan membuat lapuk. Pada akhirnya kata keabadian jadi slogon kosong. Kata ini diperkuat dengan temuan teman-teman panitia 'Haul Ketujuh Kepergian Pramoedya A. Toer' kala minta bantuan teman-teman mahasiswa UIN Jakarta.

Apa yang terjadi? Banyak diantara mereka tak mengenal siapa itu Pram, bahkan tak jarang antara mereka menanyakan siapa Pram, dosen mana, apakah dosen UIN?

Tentang Pram hanyalah sebuah contoh hanya dengan menulis keabadian masih sangat mungkin memudar. Dalam hal ini,  novelis asal Czech Republic, Milan Kundera telah memperingatakan. Pria yang tengah menetap di Perancis ini mengatakan perjuangan manusia adalah melawan lupa.

Memang harus diakui sebagaimana halnya Pram, ungkapan Kundera sangat mungkin menerima berbagai macam tafsiran. Bahkan tafsiran tersebut bertentangan dengan apa yang dimaksud.

Tapi setidaknya memberikan gambaran, bahwa ada yang perlu diperhatikan bagaimana upaya manusia dalam menjaga keabadian itu sendiri. Terutama silih bergantinya kabar hingga bertumpuk-tumpuk. Akibatnya, tumpukan paling bawah terasa begitu usang.

Keluputan manusia ini sering dimanfaatkan sejumlah pihak, ada yang mengatakan hal ini sebagai pengalihan isu. Untungnya ada sesuatu yang memulihkan kesadaran terhadap hal yang usang. Jika demikan, maka nasib sial melanda pihak yang sengaja mengalihkan isu.

Hanya sebuah catatan saja, dari sekian banyak yang tercatat terdapat beberapa hal yang menjadi soroton sejumlah pihak. Antaranya, soal hukum, ekonomi, politik. Dari ketiganya, bagaimana hukum dapat diperlakukan tanpa perbedaan dan bagaimana kebijakan pemerintah agar masyarakat hidup sejahtera.

Sudah demikian, kasus melambungnya harga kedelai dan sejumlah pangan lainya sebenarnya hanya cerita lama yang terus mengulang. Cerita ini akan masih tetap terekam jika harga itu kembali naik dan naik.

Begitu pula dengan hukum, bagaimana nasib Munir, Widji Thukul, dan yang lainnya. Kenangan terhadapnya akan kembali teringat jika ada yang memutarnya atau sebuah peristiwa yang hadir dan mengingatkan pada yang usang.

Hal ini mengigatkan sebuah ungkapan, pada dasarnya semuanya sebenarnya hanya pengulangan hanya waktu dan tempat yang berbeda. Sebagaimana kisah kecelakaan mauat yang dialami salah seorang putra dari  musisi ternama sekaligus punggawa Republik Cinta Management Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani atau yang sering disapa Dul.

Usai kecelakan tersebut, apa yang dilakukan keluarga Dhani tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa, saat mengetahui mobil yang ditumpangi putranya,M Rasyid Amrullah Radjasa mengalami kecelakaan maut.

Baik Dhani muapun besan Presiden SBY cukup sukses dalam menyampaikan permintaan maaf terhadap pihak korban. Namun, nasib baik sepertinya tidak tengah berpihak pada keluarga Apriyani Susanti. Sejak tragedi di hari libur (22/1), tragedi yang menewaskan para pejalan kaki akibat tertabrak mobil bermerek Xenia dengan bernopolisi B 2497 XI. Peristiwa yang terjadi di Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat.

Atas peristiwa yang terjadi pukul 11.10 WIB berakibat 9 orang meninggal dunia. Apriyani Susanti (29) tak luput dari cibiran orang-orang, desas-desus mengenainya pun ramai diperbincangkan di media-media. Bahkan muncul sebuah gerakan di jejaring sosial, hadirnya gerakan ini menuntut hukuman mati terhadap Apriyani.

Padahal, ibunda Apriyani Susanti, Yurneli menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban tabrakan. "Saya mohon, maafkanlah putri saya, maafkan Afriyani, dan maafkanlah keluarga kami," ujar Yurneli (58) saat memberi keterangan pers di kediamannya, kemarin.

Tak sampai disitu, suasana haru kembali tersaji saat Yurneli menyampaikan permintaan maaf pada salah satu siaran televisi. Kendati demikian, terdapa pihak korban yang belum juga iklas menerima permintaan maaf.

Lalu kemana larinya gerakan hukuman mati terhadap Apriyani saat kecelakaan maut menjerat Rasyid. Mungkin gerakan ini telah mulai belajar dan menyadari tentang apa itu hukum, sehingga sejumlah pihak dibingungkan dengan vonis terhadap Rasyid.

Lalu apakah kita perlu menunggu peristiwa baru untuk menyajikan kisah yang usang?

@AyodiaKelana









Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta