Berita Terbaru:
Home » » Curhatan Jokowi Soal Pemukiman Kumuh

Curhatan Jokowi Soal Pemukiman Kumuh

Written By angkringanwarta.com on Saturday, September 28, 2013 | 06:02

Siapa yang tak mengenal Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau biasa akrab disapa Jokowi. Tiap langkah mantan Wali Kota Solo ini tak luput dari perhatian. Hal itu sepertinya memang tak bisa dipungkuri, teerlihat kedatangan Jokowi dalam acara kelahiran ke-9 Wahid Institute, Kamis (26/9) siang  membuat suasana seketika  bergemuruh.
Setiap perserta berdiri menyambut kedatangan mantan Walikota Solo ini, mereka berebut salam. Hal ini panitia pelaksana kesulitan menertipkan. 

Tiap langkah orang nomor satu Jakarta ini pun tak luput dari wartawan dan juga lensa kamera. Tak sekadar itu saja, ia juga mampu mengundang tawa kala mengawali orasinya padahal ucapan tersebut acap kali terdengar. "Saya heran, dulu ada yang bilang saya orang ndeso, sekarang ada yang bilang saya mirip Estrada yang presiden artis. Lah, yang benar yang mana?" ujarnya.

Menurutnya, bagaimana mungkin dalam waktu yang cukup singkat, anggapan publik terhadap dirinya tiba-tiba jadi berubah. "Lah, kok jadi bertolak belakang begini?" kata Jokowi dan langsung mendapat sambutan meriah dari para hadirin dalam acara tersebut.

Ucapan Jokowi soal Estrada mengingatkan pada komentar pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Amin Rais. Ia menilai terpilihnya Estrada sebagai presiden karena popularitasnya sebagai bintang film di Filipina. Namun, Estrada hanya bertahan beberapa bulan memimpin Filipina setelah digulingkan serta digantikan oleh Gloria Macapagal Arroyo.

Terpilihnya Estrada, lanjut Amien sama halnya dengan terpilihnya Jokowi lantaran popularitas mereka yang tinggi. Ia mengingatkan rakyat untuk tidak mengandalkan popularitas semata dalam pemilihan presiden.

Lebih lanjut Jokowi menyebut tentang ketimpangan antara yang kaya dengan miskin nampak terlihat jelas. Perbandingan antara kawasan Kuningan dengan pemukiman kumuh di Pademangan, Sunter, dan kawasan lainnya.


Dia juga menyebut data kemiskinan di Jakarta yang dinilainya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. "Data yang saya punya, kemiskinan di Jakarta itu 3,8 persen. Tapi setelah saya ngecek ke lapangan, perasaan saya mengatakan itu tidak betul, tapi lebih dari itu, bahkan lebih 5-7 poin dari itu," katanya.


Ia mengungkapkan, dari data yang diterima, ternyata betul di situ tertera yang miskin itu 3,8 persen. "Tapi ada data lain yang menyebutkan jumlah yang rentan miskin 37 persen. Setelah saya cek ke lapangan, yang miskin dan rentan miskin itu ya sama saja," tegasnya.

Menurutnya, penyampaian data-data kemiskinan selama ini bahaya sekali, karena hanya bermain kata-kata seperti itu. "Miskin 3,8 persen, rentan miskin 37 persen. Nanti ada hampir miskin berapa persen. Ini bahayanya negara kita hanya bermain kata-kata seperti itu," kata mantan Walikota Solo tersebut.

Jokowi menilai  problematika Jakarta bukan hanya pemukiman kumuh saja, penyebab  kemecetan, banjir lantaran tidak adanya ruang terbuka hijau yang berganti menjadi bangungan.  

Apa yang diungkapkannya seperti membenarkan  curhatan  Andre Vltchek yang kemudian dialih bahasakan Fitri Bintang Timur. Catatan itu dapat dengan mudah ditemukan dengan menulis 'curhatan orang asing tentang Jakarta' pada forum Kaskus.  Dalam curhatan tersebut dijelaskan bagaimana kawasan kumuh sementera pada kawasan lainya bermunculan gedung-gedung mewah hingga lapangan golf.

Gambaran tersebut akan dengan mudah ditemukan dalam forum Kaskus ' curhatan orang asing tentang Jakarta  dengan menyebut Jakarta sebagai Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta. "Ratusan ribu orang merana tinggal di sepanjang jalur kereta. 
Rasanya seperti seluruh sampah di Asia Tenggara ditumpahkan di sepanjang rel kereta; mungkin sudah seperti neraka di atas bumi ini, bukan lagi ancaman yang didengung-dengungkan oleh ajaran agama," tulisanya

 Lebih dari sekadar itu, lanjut dia, label Jakarta sebagai kota demokratis, toleran, dan perekonomian terbesar di Asia Tenggara sebagaimana disebut media Barat hanya isapan jempol belaka.  Pasalnya, mayoritas penduduknya tidak memiliki kendali atas masa depan mereka sendiri. Dari dekat makin nyata bahwa kota ini punya indikator sosial yang levelnya lazim ditemui di Sub-Sahara Afrika, bukan di Asia Timur.

Selain itu, kota ini juga semakin keras dan tidak toleran terhadap kaum minoritas (agama maupun etnik), termasuk mereka yang menuntut keadilan sosial. Perlu kedisiplinan yang luar biasa untuk tidak menyadari ini semua.

Terkait rezim serta sebuah kedisipilinan untuk menyadari itu semua mengingatkan pada sosok Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto sukses menjadikan Jakarta sebagai kota bisnis dengan menutup warung kopi yang merupakan salah ruang publik.

@AyodiaKelana




Share this post :

Masukkan email untuk berlangganan:

Delivered by Angkringanwarta

 
Ayo kirim tulisanmu ke : angkringan123@gmail.com
Copyright © 2012. AngkringanWarta - All Rights Reserved
Powered by Angkringanwarta