Cinta (Dian Sastrowardoyo) sedih saat mengetahui Rangga
((Nicholas Saputra) pemenang lomba puisi tahunan yang diadakan pihak sekolah. Kekecewaan Cinta kian bertambah saat Rangga dengan
dingin menolak untuk diwawancara, bahkan ia menyarankan agar Cinta menemui panitia puisi.
Kurang lebih inilah gambaran awal perjalanan asmara dua
remaja dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang penuh platonik,
sutradara Rudy Sudjarwo. Tersajinya kisah romantis antara Cinta dengan
Rangga menjadi magnet bagi kalangan remaja, termasuk saya. Bahkan untuk kesikian kalinya saya kembali
memutar film tersebut.
Bisa jadi tanpa tersadari penontong, film itu ternyata bukan hanya menampilkan
perjalan asamara dua sejoli yang penuh liku dan juga persahabatan. Bagi
yang mengikuiti jalan film ini, tentu
akan menemukan beberapa adegan yang penuh dengan emosi , kesedihan, dan juga celetukan berbau
politik.
Celetukan politik terselip dalam adegan seusai Rangga,
ayahnya, dan Cinta menyantap makanan.
Dengan santainya Rangga menyingung soal pemecatan ayahnya lantaran
menulis kebobrokan pemerintah. “Tahun 1996 bikin tentang kebusukan pemerintahan.
Akibatnya, ya dipecatlah, dituduh komunis, dianggap makar,” ujarnya.
Kebijakan pemilik kekuasan merempat pada kenangan Rangga dan Cinta saat
mengunjungi Kwitang, pasar buku yang terletak di Senen. Imbasanya, tak hanya dirasakan sejoli ini. Mereka yang telah menaruh hati akan kelimpungan
mencari kemana perginya toko buku yang
menjajakan bermacam buku.
Sama hanya pelanggan yang betanya-tanya kemana perginya toko
buku Gerak-gerik. Ketidak hadiran
tumpukan buku yang terpampang di jalan
Pesanggarah, samping UIN Ciputat sungguh mengejutkan. Soalnya, hilangnya toko yang begitu saja dengah hanya menyisakan
toko klontong.
Begitu juga Kwitang, lenyapnya Gerak-gerik cukup menyelipkan
sejumlah romantis bagi para pelanggannya akan
merasakan kesedihan.
Kenangan
terbangun, selain dianggap murah dan menjul buku-buku yang dianggap berbeda
dengan buku lainnya (langka). Pelagan juga
dapat menyimpan terlebih dahulu buku mana yang hendak dibeli sampai jangka
tertentu dan mempunyai uang untuk
menukarnya.
Sampai saat ini belum diketahui apa yang membuat pemilik gerak-gerik memutuskan untuk menghentikan usahanya. Pertanyaan itu juga
sepertinya berlaku pada Kwitang. Pantaskan kita berasumsi kepergian keduanya
lebih disebabkan faktor ekonomi.
Yang menjadi pembeda, Kwitang dipindahkan lantaran ada motiv
ekonomi dibalik kebijakan Pemprof DKI Jakarta, Fauzi Bowo alias Foke tentang ketertiban. .
Sedangkan, pemilik Gerak-gerik dipusingkan
dengan turus menurunnya angka penjualan.
@AyodiaKelana